Sabtu, 31 Desember 2011

MIESTENIA GRAVIS




Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak, orang dewasa, dan pada orang tua.

Sindrom klinis ini dikemukakan pertama kali pada tahun 1600. Pada akhir tahun 1800an miastenia gravis mulai dibedakan dari kelemahan otot akibat paralysis bulbar. Pada tahun 1920 seorang dokter yang menderita miastenia gravis merasa ada perbaikan sesudah ia meminum obat efedrin yang ditujukan untuk mengatasi kram menstruasi. Akhirnya pada tahun 1934 Mary Walker, seorang dokter dari Inggris melihat adanya gejala-gejala yang serupa antara miastenia gravis dan keracunan kurare. Mary Walker menggunakan antagonis kurare yaitu fisostigmin untuk mengobati miastenia gravis dan ternyata ada kemajuan-kemajuan yang nyata.

Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah terdiagnosis (Patofisiologi, 1995).

Tingkat kematian pada waktu lampau dapat sampai 90%. Kematian biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan. Jumlah kematian telah berhasil dikurangi secara drastic sejak tersedia obat-obatan serta unit-unit perawatan pernapasan. Remisi spontan dapat terjadi pada 10% hingga 20% pasien dan dapat dicapai dengan melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu. Yang paling cocok untuk menjalani cara ini adalah wanita muda yang masih dini keadaannya (5 tahun pertama setelah awitan) dan tidak berespon baik dengan pengobatan.

2.1. Definisi

Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal).

Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah1.

Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular.

2.2. Patofisiologi

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-menerus3.

Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya5.

2.3. Manifestasi Klinis

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.

Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung

.Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi8.

Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.

2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi yang disertai diare dan demam.

3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka berada dalam keadaan tegang.

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya3.

2.4. Klasifikasi

Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi3:

1. Kelompok I: Miastenia okular

Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada kasus kematian.

2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan

Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.

3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang

Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.

4. Kelompok III: Miastenia berat akut

Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.

5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut

Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.

Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian miastenia gravis, ialah1:

1. Miastenia neonatus

Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.

2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)

Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.

3. Miastenia kongenital

Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.

4. Miastenia familial

Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.

5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)

Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita mengeluh mulutnya kering.

6. Miastenia gravis antibodi-negatif

Kurang lebih ¼ daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi. Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.

7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin

D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.

8. Botulisme

Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.

Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).

2.5. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin

Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.

2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.

3. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.

4. Foto dada

Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.

5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.

6. Tes prostigmin

Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.

2.6. Terapi

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus dihindari.

3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.

5. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.

2.7. Krisis Pada Miastenia Gravis

Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan, membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis krisis, yaitu:

1. Krisis miastenik

Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Pemberian antikolinesterase

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat diturunkan.

2. Krisis kolinergik

Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:

- Kontrol jalan napas

- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.

- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.

Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.


Kesimpulan

1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh hingga ke otot pernapasan.

2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskular akibat penyakit otoimun.

3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang sembuh kembali setelah istirahat.

4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis, serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.

5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.

POLIOMIELITIS



Definition :
Infeksi viral yang sering dikenal dengan nama flaccid akut paralysis. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional sebagian kecil menyebar ke sistem saraf.

Cause :
Poliovirus (genus enterovirus) tipe 1, 2 dan 3; semua tipe dapat menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 dapat diisolasi dari hampir semua kasus kelumpuhan, tipe 3 lebih jarang demikian pula tipe 2 paling jarang. Tipe 1 palng sering menyebabkan wabah. Sebagian besar kasus vaccine associated disebabkan oleh tipe 2 dan 3. 

Prevention :
1) Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang manfaat pemberian imunisasi sedini mungkin semasa anak-anak.

2) Sejak akhir tahun 1999, kedua jenis vaksin baik vaksin trivalen hidup orang yang berisikan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) (OPV) maupun vaksin suntikan yang berisikan virus polio mati (IPV) bisa didapat secara komersial. Pemakaian kedua jenis vaksin ini di berbagai negara berbeda-beda.

Vaksin oral polio (OPV) menirukan infeksi alamiah yang terjadi di alam. OPV merangsang pembentukan antibodi baik antibodi di dalam darah maupun antibodi lokal pada jonjot (vili) usus. Disamping itu virus yang ada pada OPV dapat mengimunisasi orang-orang di sekitarnya dengan cara penyebaran sekunder. Di negara-negara berkembang dilaporkan bahwa angka serokonversi rendah dan vaccine efficacy menurun. Namun hal ini dapat diatasi dengan pemberian dosis tambahan melalui kampanye.


Ada pemberian air susu ibu tidak menyebabkan pengurangan yang bermakna terhadap daya lindung yang diberikan oleh OPV. WHO merekomendasikan untuk memakai OPV saja dalam program imunisasi di negara berkembang oleh karena murah, mudah pemberiannya dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam memberikan imunitas pada masyarakat.

IPV seperti halnya OPV dapat memberikan perlindungan kepada individu bagus sekali dengan merangsang pembentukan antibodi dalam darah yang memblokir penyebaran virus ke sistem saraf pusat. Baik OPV maupun IPV kedua-duanya merangsang pembentukan kekebalan intestinal. Banyak negara maju berpindah ke pemakaian IPV saja untuk imunisasi rutin, setelah terbukti jelas selama beberapa tahun virus polio liar telah tereliminasi. Lima orang dengan gangguan imunodefisiensi primer diketahui secara terus-menerus mengeluarkan virus yang berasal dari OPV pada kotorannya selama 4 sampai 7 tahun lebih. Makna dari temuan ini adalah dalam rangka pertimbangan akan kemungkinan pada suatu saat untuk menghentikan imunisasi polio. Beberapa penelitian sedang dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya kejadian serupa di negara-negara berkembang.


Terapinya suportif:

  • Ventilasi mekanik diperlukan jika bulbar ikut terlibat
  • manajemen rasa sakit untuk paresthesia
  • terapi fisik

Transverse Myelitis





Insidensi

Usia dari kondisi ini dapat didapat dari infant hingga orang dewasa yang lebi tua (5 bulan hingga 80 tahun). Puncak usia untuk diagnosis TM adalah 10-19 dan 30-39 tahun. Laki-laki dan wanita sama dalam diagnosa. TM merupakan kelainan yang jarang dengan penjumlahan insidensi 300 kasus baru di United Kingdom.

Pemulihan dari TM pada umumnya dimulai dalam 8 minggu dari onset. Pemulihan seringkali cepat selama bulan ke 3-6 dan dapat berlanjut hingga lebih dari 2 tahun setelah onset. Satu pertiga dari mereka yang didiagnosa dengan TM mendapatkan pemulihan yang baik, satu pertiga hanya mempunyai pemulihan sedikit (disabilitas permanent derajat sedang), dan satu pertiga tidak menunjukkan pemulihan. 

TM secara umum merupakan penyakit monofasik (hanya satu kali timbul). Bagaimanapun, persentase kecil pasien dapat mendapat reurensi, terutama jika ada penyakit yang mendasarinya. 


Definisi

TM merupakan kelainan neurologis yang jarang, satu dari kelompok penyakit ‘neuroimmunologic’ dari sistem saraf pusat, dimana juga termasuk ADEM, NMI (penyakit Devic) dan MS. Kondisi ini kesemuanya melibatkan penyerangan inflamasi di sistem saraf pusat menyebabkan demielinisasi medula spinalis. Mereka dibedakan secara primer oleh lokasi lesi, dan oleh penyerangannya baik monofasik atau episode yang multipel. Kelainan ini membagi mekanisme yang sering dan mempunyai banyak gejala yang sama. 

Ada bermacam variabilitas dalam presentasi gejala, dimana didasari oleh level medulla spinalis yang dipengaruhi dan ada variasi yang luar biasa dalam penampakkan gejala, dimana didasari dari lesi medulla spinalis yang terkena dan keparahan kerusakan mielin dan serat saraf di neuron. Gejala TM termasuk kelemahan otot, paralisis, parastehesias, atau sesnsasi saraf yang tidak nyaman, nyeri neuropatik, spastisitas, depressi serta disfungsi usus, kandung kemih dan seksual. TM dapat akut atau berkembang perlahan. Ada beberapa variasi dari diagnosis TM.

Etiologi


Dalam beberapa kasus, penyakit ini diasumsikan disebabkan oleh infeksi viral atau vaksinasi dan juga telah dikaitkan dengan cedera medulla spinalis, reaksi imun, schistosomiasus, dan aliran darah yang insufisien melalui pembuluh darah spinalis. Gejala termasuk kelemahan dan kebas di kedua tungkai untuk motor, defisit sensorik dan sfingter. Nyeri pinggang dapat timbul pada beberapa pasien saat onset penyakit berjalan. Terapi biasanya hanya simptomatik, kortikosteroid digunakan dengan kesuksesan yang terbatas. Perbedaan utama untuk dibuat adalah kondisi yang sama akibat kompressi medulla spinalis, akibat penyakit yang mengelilingi kolumna vertebralis. 

TM dapat timbul dalam isolasi atau dengan penyakit lain. Ketika TM timbul tanpa penyakit penyerta yang tampak, hal ini diasumsikan untuk menjadi idiopatik. TM idiopatik diasumsikan untuk sebagai hasil dari aktivasi abnormal sistem imune melawan medulla spinalis. TM seringkali timbul bersamaan dengan infeksi bakteri dan virus.

Sekitar satu pertiga pasien dengan TM melaporkan penyakit seperti flu dengan demam, dengan onset waktu gejala neurologis. Vaksinasi juga dikaitkan dengan TM dan terutama ADEM, tetapi hubungannya tidak dapat dibuktikan. 

Terapi

Obat kortikosteroid secara umum digunakan sebagai terapi inflamasi medulla spinalis dengan pasien TM. Pertukaran plasma atau terapi immunosupressant radikal yang lebih dapat digunakan jika steroidnya tidak bekerja. Semua terapi lain hanya menujukan gejala pada saat ini. Rehabilitasi, terutama fisioterapi, sangat penting. Pasien sebaiknya mengikuti regimen rehabilitasi untuk kerusakan spinal.
Evaluasi Pasien dengan TM Akut

Sindroma Guillain-Barre (SGB)


Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial

Etiologi Sindroma Guillain-Barre (SGB)
Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparap proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses.

Manifestasi Klinis Sindroma Guillain-Barre (SGB)
Terdapat variasi dalam awitannya. Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuih dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang menunjukkan adanya paralisis pada okuler, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan para simpstis seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah(hipertensi transien, hipotensi ortostatik). Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanyarefleks tendon . Perubahan sensori dimanifestasikan dengan bentuk parestesia. Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai 1 tahun , tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan

Diagnostik Sindroma Guillain-Barre (SGB)

  • Cairan spinal menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal. 
  • Pengujian elektrofisiologis diperlihatkan dengan bentuk lambatnya laju konduksi saraf


Penatalaksanaan
Sindroma Guillain-Barre (SGB) dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan demielinasi. selain itu ada IVIG selain plasmaferesis
 Diperlukan pemantauan EKG kontinu untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Disritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardi selama penghisapan endotrakheal dan terapi fisik.



DISTROPI OTOT DUCHENE




Duchenne distrofi Otot adalah gangguan herediter yang secara bertahap melemahkan sistem otot-otot. Gangguan ini disebabkan oleh variasi dalam gen tertentu dalam kromosom X yang menyediakan instruksi untuk pembentukan protein distrofin, bagian struktural yang signifikan dari jaringan otot. Wanita dapat menjadi pembawa tetapi umumnya tidak mengalami gejala kondisi. Namun, sering terjadi pada orang tanpa riwayat keluarga diketahui kondisi. Gangguan ini ditandai dengan memburuknya hilangnya fungsi otot, yang dimulai di tungkai bawah. Duchenne distrofi otot ditandai dengan penurunan massa otot dan hilangnya fungsi otot progresif pada anak laki-laki.


gejala biasanya tampak pada anak sebelum usia 6 maskulin dan dapat terjadi pada awal masa bayi. Kontraktur otot terjadi di kaki. Dengan demikian, otot-otot yang tidak dapat digunakan karena serat otot mempersingkat dan fibrosis terjadi pada jaringan ikat. Anak-anak perempuan masing-masing operator memiliki kesempatan 50% memiliki penyakit tersebut, dan putri masing-masing memiliki kesempatan 50% menjadi operator. Kardiomiopati terjadi pada hampir semua kasus. Gangguan intelektual mungkin terjadi, tetapi tidak terelakkan dan tidak memperburuk sebagai gangguan berlangsung. Karena ini adalah kelainan bawaan, risiko termasuk riwayat keluarga distrofi otot Duchenne. Sebaliknya, Distrofi otot Becker adalah bentuk yang berkembang jauh lebih lambat.

Gejala utama berotot distrofi Duchenne adalah otot cepat liberal yang gagal berhubungan dengan otot dengan otot-otot proksimal menjadi yang pertama terkena, khususnya otot pinggul dan betis. Tanda-tanda awal mungkin termasuk otot betis membesar, kekuatan rendah dan tingkat daya tahan, dan kesulitan dalam berdiri dan berjalan di atas tangga. Sebagai kondisi berlangsung, jaringan otot  fibrosis, dan akhirnya digantikan oleh jaringan lemak dan jaringan ikat. Generalized kelemahan dan otot pertama yang mempengaruhi otot-otot pinggul, daerah panggul, paha dan bahu. Betis sering diperbesar. Kemudian gejala termasuk normal perkembangan tulang yang mengarah pada cacat tulang termasuk kelengkungan tulang belakang, kehilangan gerakan progresif yang akhirnya untuk menyelesaikan kelumpuhan, dan meningkatnya kesulitan dalam bernapas. Gangguan intelektual juga dapat hadir tetapi tidak kemajuan sebagai usia anak.

 
Tidak ada obat dikenal untuk distrofi otot Duchenne, meski baru sel induk penyelidikan menunjukkan vektor menjanjikan yang mungkin menggantikan jaringan otot yang rusak. Pengobatan ditujukan pada gejala perintah untuk memaksimalkan karakter hidup. Terapi gen mungkin akan tersedia di masa mendatang. Kortikosteroid seperti prednison dan meningkatkan energi dan kekuatan deflazacort dan menunda keparahan dari beberapa gejala. Peralatan ortopedi dapat meningkatkan mobilitas dan kemampuan untuk perawatan diri. Formulir-pas penyangga kaki removable yang memegang pergelangan kaki di tempat selama tidur dapat menunda timbulnya kontraktur. Terapi fisik membantu untuk mempertahankan kekuatan otot, fleksibilitas, dan fungsi. Konseling genetik dianjurkan jika ada riwayat keluarga gangguan ini. Duchenne distrofi otot dapat dideteksi dengan sekitar 95% akurasi oleh studi-studi genetik dilakukan selama kehamila




MENINGITIS



Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membrane atau selaput yang melapisi otak dan syaraf. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak. 

Pasien yang diduga mengalami Meningitis haruslah dilakukan suatu pemeriksaan yang akurat, baik itu disebabkan virus, bakteri ataupun jamur. Hal ini diperlukan untuk spesifikasi pengobatannya, karena masing-masing akan mendapatkan therapy sesuai penyebabnya.


Penyebab Penyakit Meningitis

Meningitis yang disebabkan oleh virus umumnya tidak berbahaya, akan pulih tanpa pengobatan dan perawatan yang spesifik. Namun Meningitis disebabkan oleh bakteri bisa mengakibatkan kondisi serius, misalnya kerusakan otak, hilangnya pendengaran, kurangnya kemampuan belajar, bahkan bisa menyebabkan kematian. Sedangkan Meningitis disebabkan oleh jamur sangat jarang, jenis ini umumnya diderita orang yang mengalami kerusakan immun (daya tahan tubuh) seperti pada penderita AIDS.

Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis diantaranya :
1. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus).
Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi ataupun anak-anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, telinga dan rongga hidung (sinus).

2. Neisseria meningitidis (meningococcus).
Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah Streptococcus pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi pada saluran nafas bagian atas yang kemudian bakterinya masuk kedalam peredaran darah. 

3. Haemophilus influenzae (haemophilus).
Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga dapat menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya infeksi pernafasan bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis. Pemberian vaksin (Hib vaccine) telah membuktikan terjadinya angka penurunan pada kasus meningitis yang disebabkan bakteri jenis ini.

4. Listeria monocytogenes (listeria).
Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan meningitis. Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam debu dan dalam makanan yang terkontaminasi. Makanan ini biasanya yang berjenis keju, hot dog dan daging sandwich yang mana bakteri ini berasal dari hewan lokal (peliharaan).

5. Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis.


Tanda dan Gejala Penyakit Meningitis

Gejala yang khas dan umum ditampakkan oleh penderita meningitis diatas umur 2 tahun adalah demam, sakit kepala dan kekakuan otot leher yang berlangsung berjam-jam atau dirasakan sampai 2 hari. Tanda dan gejala lainnya adalah photophobia (takut/menghindari sorotan cahaya terang), phonophobia (takut/terganggu dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak kebingungan, kesusahan untuk bangun dari tidur, bahkan tak sadarkan diri.

Pada bayi gejala dan tanda penyakit meningitis mungkin sangatlah sulit diketahui, namun umumnya bayi akan tampak lemah dan pendiam (tidak aktif), gemetaran, muntah dan enggan menyusui. 


Penanganan dan Pengobatan Penyakit Meningitis

Apabila ada tanda-tanda dan gejala seperti di atas, maka secepatnya penderita dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pelayan kesehatan yang intensif. Pemeriksaan fisik, pemeriksaan labratorium yang meliputi test darah (elektrolite, fungsi hati dan ginjal, serta darah lengkap), dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru akan membantu tim dokter dalam mendiagnosa penyakit. Sedangkan pemeriksaan yang sangat penting apabila penderita telah diduga meningitis adalah pemeriksaan Lumbar puncture (pemeriksaan cairan selaput otak).

Jika berdasarkan pemeriksaan penderita didiagnosa sebagai meningitis, maka pemberian antibiotik secara Infus (intravenous) adalah langkah yang baik untuk menjamin kesembuhan serta mengurang atau menghindari resiko komplikasi. Antibiotik yang diberikan kepada penderita tergantung dari jenis bakteri yang ditemukan. 

Adapun beberapa antibiotik yang sering diresepkan oleh dokter pada kasus meningitis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis antara lain Cephalosporin(ceftriaxone atau cefotaxime). Sedangkan meningitis yang disebabkan oleh bakteri Listeria monocytogenes akan diberikanAmpicillin, Vancomycin dan Carbapenem (meropenem),Chloramphenicol atau Ceftriaxone.

Treatment atau therapy lainnya adalah yang mengarah kepada gejala yang timbul, misalnya sakit kepala dan demam (paracetamol), shock dan kejang (diazepam) dan lain sebagainya. 


Pencegahan Tertularnya Penyakit Meningitis

Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan melalui batuk, bersin, ciuman, sharing makan 1 sendok, pemakaian sikat gigi bersama dan merokok bergantian dalam satu batangnya. Maka bagi anda yang mengetahui rekan atau disekeliling ada yang mengalami meningitis jenis ini haruslah berhati-hati. Mancuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah ketoilet umum, memegang hewan peliharaan. Menjaga stamina (daya tahan) tubuh dengan makan bergizi dan berolahraga yang teratur adalah sangat baik menghindari berbagai macam penyakit.

Pemberian Imunisasi vaksin (vaccine) Meningitis merupakan tindakan yang tepat terutama didaerah yang diketahui rentan terkena wabah meningitis, adapun vaccine yang telah dikenal sebagai pencegahan terhadap meningitis diantaranya adalah ;
- Haemophilus influenzae type b (Hib)
- Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7)
- Pneumococcal polysaccharide vaccine (PPV)
- Meningococcal conjugate vaccine (MCV4)

Jumat, 30 Desember 2011

defect septum ventrikel


Defek septum ventrikel (VSD) merupakan kelainan jantung yang paling sering terjadi yaitu sebanyak 25% dari keseluruhan penyakit jantung bawaan (PJB). Penelitian lain mengemukakan bahwa VSD adalah kelainan pada 30-60% PJB dan pada 2-6 per 10000 kelahiran. Sebuah studi prospektif menunjukkan 80-90% defek trabecular dapat menutup secara spontan setelah lahir. VSD dapat muncul sendiri atau muncul sebagai bagian dari Tetralogy of Fallot dan Transposisi Arteri Besar. VSD, bersama dengan penyakit vaskular pulmonal dan sianosis sering disebut sebagai sindroma Eisenmenger.

Defek dapat terjadi di bagian manapun pada septum ventrikel: pars muskularis, pars membranosa, krista atau suprakrista.

Patofisiologi
Ukuran defek secara anatomis menjadi penentu utama besarnya pirau kiri-ke-kanan (right-to-left shunt). Pirau ini juga ditentukan oleh perbandingan derajat resistensi vaskular dan sistemik. Ketika defek kecil, defek tersebut dikatakan restriktif. Pada defek nonrestriktif , tekanan ventrikel kiri dan kanan adalah sama. Pada defek jenis ini, arah pirau dan besarnya ditentukan oleh rasio resistensi pulmonal dan sistemik.

Setelah kelahiran (dengan VSD), resistensi pulmonal tetap lebih tinggi melebihi normal dan ukuran pirau kiri-ke-kanan terbatas. Setelah resistensi pulmonal turun pada minggu-minggu pertama kelahiran, maka terjadi peningkatan pirau kiri-ke-kanan. Ketika terjadi pirau yang besar maka gejala dapat terlihat dengan jelas. Pada kebanyakan kasus , resistensi pulmonal sedikit meningkat dan penyebab utama hipertensi pulmonal adalah aliran darah pulmonal yang besar. Pada sebagian pasien dengan VSD besar, arteriol pulmonal menebal. Hal ini dapat menyebabkan penyakit vaskular paru obstuktif. Ketika rasio resistensi pulmonal dan sistemik adalah 1:1, maka pirau menjadi bidireksional (dua arah), tanda-tanda gagal jantung menghilang dan pasien menjadi sianotik. Namun hal ini sudah jarang terlihat karena adanya perkembangan intervensi secara bedah.

Besarnya pirau intrakardia juga ditentukan oleh berdasarkan rasio aliran darah pulmonal dan sistemik. Jika pirau kiri-ke-kanan relatif kecil (rasio aliran darah pulmonal dan sistemik adalah 1.75:1), maka ruang-ruang jantung tidak membesar dan aliran darah paru normal. Namun jika pirau besar  (rasio 2.5:1) maka terjadi overload volume atrium dan ventrikel kiri, peningkatan EDV dan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat aliran darah dari kiri masuk ke kanan dan ke paru dan kembali lagi ke kiri (membentuk suatu aliran siklus). Peningkatan tekanan di bagian kanan (normal ventrikel kanan 20 mmHg, ventrikel kiri 120mmHg) juga menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan, peningkatan aliran pulmonal dan hipertensi arteri pulmonal. Trunkus pulmonalis, atrium kiri dan ventrikel kiri membesar karena aliran pulmonal yang juga besar. Selain itu, karena darah yang keluar dari ventrikel kiri harus terbagi ke ventrikel kanan, maka jumlah darah yang mengalir ke sistemik pun berkurang (akan mengativasi sistem Renin-Angiotensin dan retensi garam).


Manifestasi klinis
Tampilan klinis pasien VSD bervariasi, bergantung kepada besarnya defek/pirau dan aliran dan tekanan arteri  pulmonal. Jenis yang paling sering terjadi ialah defek kecil dengan pirau kiri-ke-kanan yang ringan dan tekanan arteri pulmonal yang normal. Pasien dengan defek tersebut umumnya asimtomatis dan lesi kelainan jantung ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin. Dapat ditemukan murmur holosistolik parasternal yang keras, kasar dan bertiup serta ada thrill. P
ada beberapa kasus murmur tersebut berakhir sebelum bunyi jantung 2, kemungkinan disebabkan oleh penutupan defek pada akhir sistolik. Pada neonatus murmur mungkin tidak terdengar pada beberapa hari pertama setelah kelahiran (sebab tekanan ventrikel kanan yang turun perlahan), hal ini berbeda dengan kelahiran prematur di mana resistensi paru turun lebih cepat sehingga murmur dapat terdengar lebih awal. Pada pasien dengan VSD kecil, roentgenogram dada umumnya normal walaupun dapat terlihat sedikit kardiomegali dan peningkatan vaskulatur pulmonal. EKG umumnya normal walau dapat juga terlihat hipertrofi ventrikel kiri. Adanya hipertrofi ventrikel kanan menunjukkan bahwa defek tidak kecil serta ada hipertensi pulmonal atau stenosis pulmonal.

Defek besar dengan aliran darah pulmonal yang besar dan hipertensi pulmonal dapat menyebabkan dyspnoe, kesulitan makan, pertumbuhan terhambat, berkeringat, infeksi paru rekuren atau gagal jantung pada saat bayi. Sianosis biasanya tidak terlihat, tetapi ruam hitam (duskiness) dapat terlihat jika ada infeksi atau pada saat menangis. Penonjolan prekordial kiri dan sternum sering terjadi (pada kardiomegali), penonjolan parasternal yang dapat diraba, thrust apikal atau thrill sistolik. Murmur holosistolik dapat menyerupai murmur pada VSD kecil namun terdengar lebih halus. Komponen pulmonal pada suara jantung 2 dapat meningkat, menunjukkan adanya hipertensi pulmonal. Adanya bunyi middiastolik di apeks disebabkan oleh peningkatan aliran darah melalui katup mitral dan adanya pirau kiri-ke-kanan dengan rasio 2:1 atau lebih. Pada VSD besar, roentgenogram dada menunjukkan adanya kardiomegali dengan penonjolan pada kedua ventrikel, atrium kiri, dan arteri pulmonal. Edema dan efusi pleura dapat timbul. EKG menunjukkan adanya hipertrofi kedua ventrikel.



Diagnosis

Dengan menggunakan echocardiography dua dimensi dapat ditentukan posisi dan besarnya VSD. Pada defek yang sangat kecil terlebih pada pars muskular, defek sangat sulit untuk dicitrakan sehingga membutuhkan visualisasi dengan pemeriksaan Doppler berwarna. Aneurisma septum ventrikel (yang terdiri dari jaringan katup trikuspid) dapat menutupi defek dan menurunkan jumlah aliran pirau kiri-ke-kanan. Echo juga bermanfaat untuk memperkirakan ukuran pirau dengan menilai derajat overload cairan di atrium dan ventrikel kiri; besarnya peningkatan yang terlihat dapat merefleksikan besarnya pirau kiri-ke-kanan. Pemeriksaan Doppler juga dapat membantu menilai tekanan ventrikel kanan dan menentukan apakah pasien berisiko menderita penyakit vaskular paru.

Efek dari VSD terhadap sirkulasi (secara umum) dapat dilihat dengan kateterisasi jantung, namun prosedur pemeriksaan ini tidak selalu mutlak diperlukan. Kateterisasi biasanya dilakukan jika pemeriksaan komprehensif lainnya masih belum dapat menentukan ukuran pirau atau jika data laboratorium tidak sesuai dengan temuan di klinik. Selain itu, kateterisasi juga dapat digunakan untuk mencari apakah ada kelainan jantung lain yang terkait.

Ketika kateterisasi dilakukan, oxymetri akan menunjukkan adanya peningkatan kadar oksigen di ventrikel kanan terhadap atrium kanan. Jika defek berukuran kecil maka kateterisasi belum tentu dapat menunjukkan adanya peningkatan saturasi oksigen di ventrikel kanan. Defek yang kecil dan restriktif biasanya diasosiasikan dengan tekanan ventrikel kanan dan resistensi vaskular yang normal. Sedangkan defek yang besar dan nonrestriktif biasanya diasosiasikan dengan keseimbangan yang dibentuk oleh tekanan sistolik pulmonal dan sistemik.

Prognosis dan komplikasi

Perjalanan penyakit VSD bergantung pada derajat besarnya defek yang terjadi. Sebanyak 30-50% defek ringan dapat menutup spontan pada tahun pertama kehidupan, sisanya menutup sebelum usia 4 tahun. Defek seperti ini biasanya memiliki aneurisma septum ventrikel yang memperkecil ukuran defek/pirau. Kebanyakan anak dengan defek ringan tetap asimtomatis tanpa ada peningkatan ukuran jantung, tekanan atau resistensi arteri pulmonal. Risiko penyakit yang sering terjadi adalah endokarditis infektif pada 2% anak dengan VSD dan jarang terjadi di bawah usia 2 tahun. Risikonya bergantung pada ukuran defek.

Sedangkan defek yang lebih besar biasanya lebih sulit untuk menutup spontan. Anak akan sering menderita infeksi paru hingga gagal jantung kongestif yang menyebabkan gagal tumbuh. Pada beberapa kasus, gagal tumbuh merupakan gejala tunggal. Hipertensi pulmonal terjadi akibat peningkatan aliran darah pulmonal  dan pasien berisiko menderita penyakit vaskular pulmonal.

Sebagian kecil pasien VSD juga mengalami stenosis pulmonal, yang bermanfaat menjaga sirkulasi pulmonal dari peningkatan aliran (oversirkulasi) dan efek jangka panjang penyakit vaskular pulmonal. Pasien akan menunjukkan gejala klinis stenosis pulmonal. Aliran melalui pirau dapat bervariasi, seimbang, bahkan berbalik menjadi pirau kanan-ke-kiri.


Tatalaksana

Pada pasien dengan ukuran VSD kecil, orangtua harus diyakinkan mengenai lesi jantung yang relatif ‘jinak’ (tidak membahayakan), dan anak tetap diperlakukan sebagaimana normal (tidak ada batasan aktifitas). Perbaikan secara bedah tidak mutlak disarankan. Anak harus diberi asupan kalori yang memadai untuk mencapai pertumbuhan dan berat badan yang optimum. Pemberian diuretik (furosemid) apabila ada kongesti paru dan ACE inhibitor untuk menurunkan tekanan sistemik dan pulmonal serta mengurangi pirau. Terkadang juga diberikan digoksin.  Untuk mencegah endokarditis infektf, maka kesehatan gigi dan mulut harus dijaga dan menggunakan antibiotik profilaksis pada saat berobat gigi. Pasien dapat di follow up dengan pemeriksaan fisik dan penunjang noninvasif sampai defek menutup spontan. EKG dapat digunakan untuk melihat adanya hipertrofi.

Sedangkan pada pasien dengan VSD besar, maka tujuan pengobatan adalah: (1) mengendalikan gagal jantung kongestif dan (2) mencegah penyakit vaskular pulmonal. Pasien dapat menunjukkan adanya penyakit pulmonal yang berulang dan sering gagal tumbuh. Terapeutik ditujukan untuk mengendalikan gejala gagal jantung serta memelihara tumbuh-kembang yang normal. Jika terapi awal berhasil, maka pirau akan menutup selama tahun pertama kehidupan. Operasi dengan metode transkateter dapat dilakukan pada anak dengan risiko rendah (low risk) setelah berusia 15 tahun.

Setelah terjadi penutupan pirau, maka keadaan hiperdinamik akan menjadi normal, ukuran jantung mengecil kembali ke normal, thrill dan murmur menghilang serta hipertensi arteri pulmonal menghilang. Kebanyakan anak akan bertumbuh secara normal dan pengobatan tidak diperlukan lebih lanjut. Anak dapat mengejar ketertinggalan tumbuh kembangnya dalam 1-2 tahun. Namun murmur ejeksi sistolik dengan intensitas rendah dapat terus terdengar selama beberapa bulan. Prognosis jangka panjang setelah operasi adalah baik.

Rabu, 28 Desember 2011

TRIGEMINAL NEURALGIA





Bila Anda tiba-tiba merasakan wajah seperti terkena sengatan listrik atau ditusuk-tusuk atau gigi terasa linu sesaat dan berulang-ulang, mungkin itu neuralgia trigeminal.  Penyakit ini adalah gangguan pada saraf wajah atau saraf kepala yang kelima.

Trigeminal neuralgia atau nyeri saraf trigeminal adalah nyeri yang terjadi di daerah nervus (saraf) trigeminus. Disebut trigeminus karena memiliki tiga cabang, yaitu ophthalmic branch (melayani daerah mata dan dahi), maxillary branch (melayani daerah pipi, rahang atas dan gigi atas), dan mandibular branch (melayani daerah rahang bawah dan gigi bawah). Ketiga cabang ini mengumpul di satu kumpulan sel saraf yang disebut ganglion trigeminus yang seterusnya akan berlanjut ke dalam batang otak.
Karena memiliki tiga cabang, rasa nyeri ini bisa menjalar ke daerah yang dipersarafinya. Ada yang merasakan nyeri di dahi, mata, gigi, kulit wajah, pipi ataupun lidah. Rasa nyeri setiap orang yang terkena penyakit ini berbeda-beda letaknya.
Spesialis saraf dari Rumah Sakit Siloam, Kebon Jeruk, dr Antonius Adinatha, mengatakan, rasa nyeri ditimbulkan karena adanya persentuhan saraf tersebut dengan pembuluh darah. Persentuhan pembuluh darah disebabkan letak pembuluh darah yang berdekatan dengan saraf tersebut.

Persenggolan menyebabkan induksi pada saraf yang mencetuskan timbulnya cetusan-cetusan listrik yang dirasakan sebagai nyeri kesetrum atau ditusuk-tusuk, seolah-olah berasal dari kulit wajah atau dari gigi. Tak hanya disebabkan oleh persentuhan pembuluh darah, 10-15 persen trigeminal neuralgia disebabkan pula saraf karena tertekan oleh penyakit lain, seperti tumor dan kerusakan saraf karena multiple sclerosis (peradangan pada otak dan sumsum tulang belakang karena autoimun).

“Penyakit ini tidak ada hubungannya dengan sakit gigi. Pasien hanya seolah-olah merasakan penyakit seperti ini sakit gigi dan nyeri pada maxila,” katanya.
Penyakit ini tidak banyak ditemukan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 107,5 pada pria dan 200,2 pada wanita per 1 juta populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi kanan wajah dibandingkan sisi kiri dengan rasio 3:2. Kurang lebih 10 persen kasus ini terjadi sebelum usia empat puluhan.

Jenis penyakit ini tergolong susah penyembuhannya. pengobatan yang dilakukan saat ini adalah dengan obat karbamasepin, penyuntikan, penyinaran dengan alat modern dan operasi. Obat yang diberikan hanya berfungsi untuk memblok rasa nyeri tanpa mematikan saraf sehingga obat ini harus dikonsumsi seumur hidup bila penderita tak  ingin merasakan nyeri.
Sementara itu, untuk penyuntikan dan penyinaran berfungsi untuk mematikan saraf. Ketika saraf dimatikan, rasa sakit memang hilang. Tindakan ini tidak mengganggu saraf lain, tetapi penderita akan bisa merasakan mati rasa pada daerah yang mati sarafnya. Untuk penyuntikan harus dilakukan tepat di bagian saraf yang sakit, kalau tidak rasa nyeri pun akan tetap ada.




Selasa, 27 Desember 2011

NYERI KEPALA KLASTER



Definisi 
Merupakan nyeri kepala hebat , unilateral biasanya terlokalisir di orbita menjalar ke supraorbita sampai temporal unilateral, berlangsung singkat (15 menit-2 jam) tanpa gejala prodromal. serangan sakit kepala lebih dari 5 kali, dengan frekuensi sehari 1-8 kali sehari , sakit kepala sekurang-kurangnya satu tanda:



Epidemiologi 
Pasien biasanya lebih banyak laki-laki dengan perbandingan 5:1 dan onset usia sekitar 20-60 tahun.


 Etiologi
- Penekanan pada nervus V akibat dilatasi pembuluh darah sekitar
- Pembengkakan dinding arteri carotis interna
- Pelepasan histamine
- Letupan paroxysmal parasimpatis
- Abnormalitas hipotalamus
- Penurunan kadar oksigen
- Terdapat pengaruh genetic

 Pencetus
- Glyceryl trinitrate
- Alcohol
- Terpapar hydrocarbons
- Panas
- Terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur
- Stress




Manifestasi klinis

-Pasien biasanya merasakan nyeri hebat di sekitar satu mata selama 20-120 menit, dapat berulang 1-8 kali sehari dan sering membangunkan pasien dari tidurnya. 

- Pola ini berlangsung selama hari, minggu, bahkan sampai bulan, kemudian terdapat periode bebas serangan selama minggu, bulan sampai tahun.

- Sifat nyeri : tajam, menjemukan, dan menusuk serta diikuti mual dan muntah. 

- Gejala otonom yaitu wajah merah, hidung tersumbat, atau mata berair ipsilateral dari nyeri kepala. Saat serangan pasien sering terlihat gelisah.


 Kriteria Diagnosis IHS untuk nyeri kepala klaster.

1. Lebih dari 5 serangan nyeri hebat orbita, supraorbita, dan/atau temporal bersifat unilateral, berlangsung selama 15-180 menit dan disertai dengan lebih dari 1 gejala berikut:

• Konjungtiva merah

• Keluar air mata

• Hidung tersumbat

• Keluar ingus dari hidung

• Berkeringat di dahi dan muka

• Miosis

• Ptosis

• Kelopak mata sembab

2. Serangan terjadi mulai dari 2 kali sampai 8 kali sehari.

• Terapi


Terapi awal: 

  • Oksigen inhalasi 7 liter/menit selama 15 menit dapat menghilangkan serangan akut
  • Ergotamine 2x1 mg atau 2 mg sebelum tidur
  •  sumatriptan injeksi S.C 6 mg
  • indometasin (suppositori)
  • opioid (rectal)
  • ergotamin aerosol 0,36mg- 1,08mg
  • gabapentin




Pengobatan preventif:

• Metisergid

• Verapamil

• Pizotifen

• Indometasin